Rakyat Dompu Menjerit, Haidar Alwi Tawarkan Solusi Tambang ala Koperasi

 

Dompu — Peristiwa yang mengemuka di lingkar tambang Kecamatan Hu’u, Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB), kembali menggemparkan publik. Rangkaian demonstrasi mahasiswa, dugaan CSR fiktif, hingga intimidasi terhadap warga penambang menjadi gambaran nyata krisis keadilan di sektor pertambangan. Di tengah gejolak itu, Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, angkat bicara lantang.

“Ini bukan cuma soal tambang ilegal atau konflik aparat dan warga. Ini kegagalan birokrasi dalam membuka ruang legal bagi tambang rakyat,” tegas Haidar Alwi.

Ia menyoroti mandeknya upaya pemerintah mewujudkan skema koperasi tambang rakyat. Menurutnya, tambang rakyat bukan untuk dimatikan, tetapi dilegalkan, dibina, dan diberdayakan.

“Ketika rakyat tak diberi ruang legal, mereka cari jalan sendiri. Ketika tak diajak bermitra, mereka dianggap pengganggu. Ini potret ketimpangan yang harus kita ubah bersama,” ujar Haidar.

Akibatnya, penambangan ilegal menjadi pilihan bertahan hidup. Warga merasa ditinggalkan negara, sementara izin tambang dan infrastruktur ekonomi lebih menguntungkan korporasi besar.

Haidar Alwi telah lama mendorong sistem koperasi tambang rakyat berbasis desa. Ia meyakini, ketika negara hadir membina dan mengawasi, rakyat dapat menambang secara legal, aman, dan berkelanjutan.

“Tambang rakyat jangan dibiarkan liar, tapi jangan juga dibunuh. Harus ada koperasi, ada pengawasan, dan ada keberpihakan,” tandasnya.

Apa yang diperjuangkan Haidar Alwi, sejalan dengan Asta Cita Presiden dan Wakil Presiden Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka, terutama poin kelima, yakni ‘Melanjutkan hilirisasi dan industrialisasi untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri’.

Konflik di Dompu, menunjukkan betapa rakyat selama ini hanya menjadi penonton dalam proses industrialisasi tambang. Padahal, hilirisasi seharusnya dimulai dengan melibatkan rakyat dalam proses produksi, bukan hanya jadi korban kebijakan.

Juga poin keenam, Asta Cita, berbunyi: ‘Membangun dari desa dan dari bawah untuk pemerataan ekonomi dan pemberantasan kemiskinan.

Haidar Alwi menyebut, koperasi tambang berbasis desa sebagai cara konkret membangun dari bawah. Dari rakyat, oleh rakyat, untuk kesejahteraan bersama.

“Kalau koperasi tambang diterapkan serius, warga punya pekerjaan, aparat tidak dibenturkan, perusahaan bisa fokus hilirisasi. Inilah makna ‘membangun dari desa’ yang sesungguhnya,” ucap Haidar.

Menurut Haidar, sudah saatnya negara tidak hanya hadir dengan pendekatan keamanan, tetapi dengan kebijakan strategis yang berpihak pada rakyat.

“Koperasi tambang bukan mimpi. Ini sudah diatur dalam Undang-Undang Minerba. Ini juga amanat Pasal 33 UUD 1945. Tinggal kemauan politik untuk mengeksekusi,” kutipnya.

Sejumlah warga Desa Marada dan Desa Hu’u, mengaku belum pernah merasakan manfaat dana CSR yang diklaim mencapai Rp 23,4 miliar. Bahkan, akses air bersih saja masih jadi mimpi.

“Kalau benar Rp 23 miliar disalurkan, air bersih pasti sudah mengalir, jalan sudah bagus. Tapi kenyataannya? Nihil,” beber Muhammad, warga Desa Marada.

Dompu bukan sekadar konflik lokal, tapi alarm nasional. Jika dibiarkan, bukan hanya tambang yang jadi masalah, tapi masa depan keadilan ekonomi itu sendiri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *